Kusketsa mentari emas yang congkak,
Kokoh berdiri menikam laut,
Meski akan tenggelam di ufuk cakrawala,
Berteman senja nan mulai turun memekat,
Angin seakan mati, lautpun sekonyong terpukau,
Henyak terdiam, hening menyelimuti alam,
Bumi terdiam, sunyi sepi mencekam,
Seakan menunggu keputusan sakral,
Menunggu torehan alam,
Haus tuk melukis sketsa wajah bijaksana,
Mentari emas,
Aku tak habis mengerti,
Mengapa jerit hati mereka seakan tak bersuara,
Ratap jiwa mereka sekan lenyap di telan dahaga,
Dirundung gemuruh gundah gulana tak terperih,
Ratap hatiku coba mengetuk dirimu,
Jelmaan manusia mentari emas,
Mungkin lewat segumal nyanyian,
Aku dapat menyusup kalbumu,
Ku susun huruf, kurangkai kata,
Sekedar menguak jendela hatimu,
Jendela hati kita semua yang mungkin bisa terbuka,
Tuk sekedar mendengar keluh mereka,
Jeritan kecil, manusia-manusia kecil nan renta,
Berwajah kusut masai kala terpanggang getir,
Tinggal di kaki langit, disela pilar rumput yang semakin menghimpit,
Digerus zaman yang mulai tak banyak tuan,
Dikurung berjuta mata yang menatap hilang dan hampa,
Tuhan,
Kuserahkan jiwa raga mereka lewat titah-Mu,
Tuk merubah hitam putih potret kelam tanah ini,
Tuk mengobati pertiwi dan selaksa jiwa manusia,
Yang mulai kerdil menikam tak berhati,
Mulai congkak bersinar bak Mentari Emas nan panas,
Tuhan,
Dengar do’a kami,
Arahkan mata hati mereka,
Yang bermain di perlehatan negeri ini,
Agar mereka tak selalu tutup mata,
Yang tak mampu mendengar jerit hati perih mereka,
Yang terkalahkan karena keadaan & kondisi,
Yang terabai oleh waktu yang tergerus zaman,
Yang selalu memerah luka, tersiksa kefakiran,
Karena jejak dibakar sketsa “Mentari Emas”